Senin, 10 Oktober 2016

Uang, Pengetahuan, dan Kekuasaan di Dunia Demokrasi


"Uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya membutuhkan uang."
Pernyataan tersebut menjadi falsafah hidup yang merasuki seluruh akivitas politisi kita. Uang tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi uang juga telah mampu mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala ruang. JANGAN bicara politik kalau tidak punya uang, jangan bicara menduduki jabatan struktural kalau tidak ada uang, dan jangan harap pula jadi PNS bila tidak punya uang, dan jangan mimpi menang tender kalau tidak punya uang. Di negeri ini semua diukur dengan uang. Punya uang, urusan lancar.
Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpisahkan, tetapi saling menopang satu sama lain. Politik membutuhkan uang untuk mengatrol kemenangan, sementara uang membutuhkan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh keuntungan (more money).
Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha dan pengusaha membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya akan memunculkan kekuatan luar biasa. Dalam percaturan politik Indonesia, tren take and give antara uang dan kekuasaan atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat.
Seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus mengeluarkan sekian trilyiun uang rupiah dari kantongnya. Dengan demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi merebut kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi angan yang mengawang. Sekarang, politik dan kemenangan ditentukan oleh kuasa uang, bukan lagi milik para elite semata. Elite tanpa uang tak mampu memenangkan pertarungan. Demokrasi yang dipertontonkan saat ini berbiaya tinggi dan logikanya, hanya orang-orang yang memiliki dana besar, terutama para konglomeratlah yang bisa bermain politik atau yang berani ke gelanggang pertarungan politik. Merekalah yang kemudian menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir supaya keuntungan-keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi. Demokrasi menjelma menjadi demokrasi oligarkis. Demokrasi yang semestinya sebagai bentuk kekuasaan “di tangan rakyat” menjelma menjadi kekuasaan “di tangan orang-orang kaya”, atau “para pemilik modal besar”.

John Nichols dan Robert W McChesney mengkritisi demokrasi yang saat ini sudah berubah menjadi “dollarocracy”. Pasalnya pada pemilu 2012 lalu di Amerika Serikat (AS) menjadi pemilu paling mahal dalam sejarah negeri yang berjuluk paman sam tersebut.Barack Obama menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp. 12 terliun. Sedangkan lawannya Mitt Romney menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp. 13 terliun.
Sama halnya dengan Indonesia, berapa trilyunan dana yang telah dihabiskan pada pileg dan pilpres selama ini?!. Bedanya jika di Amerika Serikat dana tersebut banyak dihabiskan untuk kampanye di media-media baik cetak atau elektronik. Di Indonesia dana tersebut justru banyak dipakai untuk membeli dan memanipulasi suara.

Adapun pengetahuan dan kekuasaan, Michel Foucault telah menyebutkan tentang relasi Kekuasaan dan Pengetahuan. Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan.
Namun uang dapat merekayasa pengetahuan. Alasannya, demokrasi mengajarkan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat. Itu artinya, rakyatlah yang memiliki kekuasaan. Demokrasi juga mengajarkan kepada manusia untuk menjadikan suara terbanyak sebagai jalan mengambil keputusan. Untuk mendapatkan kekuasaan dari rakyat maka diselenggarakanlah pemilu. Melalui pemilu diharapkan terpilih lah penguasa pilihan rakyat. Maka diperlukanlah memberikan pengetahuan kepada rakyat untuk membentuk cara pandang mereka. Membentuk cara pandang masyarakat tentang sosok pemimpin harus menggunakan berbagai cara dan melibatkan berbagai media, baik tradisional maupun melalui media formal. Aksi kampanye untuk memberi pengetahuan pada rakyat demi untuk menarik suara rakyat dilakukan oleh pihak-pihak yang mencalonkan diri sebagai penguasa. Berbagai janji diobral, uang dibagi-bagikan, kaos partai digratiskan, stiker disebarkan, konser musikpun digelar, bahkan mobil mewah tak jarang diberikan cuma-cuma, semuanya demi mendapatkan dukungan rakyat. Tidak sampai disitu, aksi melalui media elektronik dan cetak pun gencar dilakukan. Liarnya praktik para politisi untuk mencari rente demi biaya pencitraan dirinya agar kelak tetap terjaga opini di masyarakat sehingga tetap mampu meraih suara signifikan di setiap kontestasi, akhirnya menjadikan banyak politisi Indonesia tersandung kasus korupsi.

Uang telah menjadi penentu politik pemilihan langsung, seorang kandidat sejak awal harus menyewa lembaga survei sekaligus konsultan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat. Jasa lembaga tersebut sangatlah fantastis, sekali survei saja harus menyiapkan ratusan juta. Setelah mengetahui pengetahuan politik masyarakat maka data tersebut menjadi bahan untuk merekayasa pengetahuan yang harus diberikan kepada masyarakat agar mengenal sang calon melalui berbagai trik politik marketing untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Bukan itu saja, model sosialisasi lainnya seperti membuat alat peraga ala baliho maupun spanduk juga membutuhkan uang dengan jumlah besar. Sangatlah sulit membentuk pengetahuan masyarakat tanpa memasang baliho dengan jumlah yang besar karena dianggap sebagai cara yang ampuh untuk memperkenalkan awal sang calon kepada masyarakat. Jika wilayah suatu daerah pemilihan luas, maka berapa banyak baliho yang harus disiapkan, belum lagi baliho yang posisinya harus berbayar.
Begitupula melalui media resmi seperti TV, majalah maupun koran. Setiap kandidat yang punya kegiatan atau program harus mempublikasikan kegiatannya melalui media yang diminati masyarakat karena sia-sia kegiatan tersebut jika masyarakat tak mengetahuinya. Coba kita amati iklan politik di berbagai media yang berhubungan dengan politik telah memenuhi iklan, itu salah satu bentuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang sang calon. Padahal dalam dunia periklanan, promosi maupun sosialisasi melalui media tersebut membutuhkan uang yang tidak sedikit, kolom-kolom iklan kecil saja sampai harus menyiapkan ratusan ribu, bagaimana jika iklan tersebut dalam bentuk full halaman, pasti lebih mahal.
Begitu pentingnya membentuk pengetahuan masyarakat akan calon pemimpin yang akan dipilihnya, akhirnya para kandidat harus bekerja ekstra memberi pengetahuan dan mengendalikan cara pandang masyarakat tentang seorang pemimpin ideal sesuai dirinya. Sejak model pemilihan langsung berlaku bagi kepala daerah, episteme tentang sosok pemimpin telah terjebak dengan uang dan materi, seorang pemimpin dianggap kapabel jika memiliki uang dan mampu memberi pengetahuan kepada masyarakat bahwa ‘inilah saya, calon pemimpin anda sekalian’.
Tanpa harus terlalu mempertimbangkan apakah rakyat yang memilih itu tahu dan memahami visi, misi, tujuan, target dan lain-lainya dari yang dipilih. Bukankah pemenang pemilu adalah mereka yang memperoleh lidi terbanyak dari rakyat? Yang penting dipilih rakyat, itulah suara demokrasi. Sebenarnya yang diketahui kebanyakan rakyat hanyalah gambar orangnya, nama partainya, uang yang dibagikannya. Jadi memilih penguasa tanpa mengetahui kepribadian calon penguasa, itulah sebenarnya yang terjadi.

Hasrat kekuasaan
Foucault juga menjelaskan tentang manusia tidak hanya bergantung pada pengetahuan tetapi juga merupakan pelaku yang membentuk sebuah kekuasaan. Kekuasaan bukanlah suatu struktur politis seperti pemerintah atau kelompok sosial yang dominan. Kekuasaan bersifat tersebar dan tidak dapat dilokalisasi, tidak represif, produktif, bukan suatu hal yang dapat diukur. Kekuasaan tidak dapat diperoleh, dibagikan, dan diambil. Kekuasaan hanya dapat terjadi jika tidak adanya kesetaraan. Kekuasaan ada di mana-mana karena kekuasaan terdiri dari individu sebagai pelaku kekuasaan yang merupakan kekuasaan mikro, yang terdapat dalam keluarga, sekolah, lingkungan, kantor, sampai negara.
Gambaran tersebut seharusnya menjadi rujukan kita bahwa sesungguhnya hasrat ingin memiliki kekuasaan sehingga mewajibkan untuk menyiapkan uang yang besar. Inilah problem pemilihan langsung sekarang, uang telah menjadi syarat wajib membentuk pengetahuan untuk memiliki kekuasaan. Lihatlah fakta hasil setiap calon dan kandidat yang terpilih di suatu kontestasi, hanya merekalah yang berduit mampu menaklukkan kekuasaan.
Belum ada dalam sejarah politik pemilihan langsung di Indonesia seorang kandidat yang terpilih tidak mengeluarkan uang yang besar pada momentum kontestasi. Walaupun faktanya jika aturan tentang penggunaan dana untuk kampanye telah dibatasi, tapi setiap kandidat pasti menutupi sumber-sumber dan penggunaan uangnya di setiap akhir suatu kontestasi.
Meminjam kata John Nichols dan Robert W McChesney, demokrasi di negeri ini mungkin telah menjadi “rupiah krasi” ketika tidak adanya pertumbuhan yang efektif, sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme terus tumbuh subur.
Perselingkuhan antara pemilu dan rupiah sesungguhnya sangat merugikan rakyat banyak. Kenapa? Karena, hal tersebut mengakibatkan para calon yang terpilih akan berfikir bagaimana cara mengembalikan uangnya yang telah disebarkan pada saat pemilihan umum. Salah satu cara yang cepat untuk mengembalikan uangnya adalah korupsi atau bermain proyek.
Hal itu juga mengakibatkan pergeseran ke arah politik padat modal menjadikan demokrasi sebagai kuda tunggangan pemilik modal uang.
Sejauh para konglomerat pemilik uang itu memperoleh akumulasi kapitalnya dengan cara-cara tidak sehat, maka lewat prosedur demokrasi pengusaha hitam itu mendikte urusan publik, menutupi persekongkolan jahatnya dengan makelar kasus dan mafia hukum, dan menjadikan urusan publik (republic) menjadi urusan privat.
Dengan demikian, meski perangkat keras institusi dan prosedur politik kita seolah-olah demokratis, perangkat lunaknya berwatak tirani, bahkan lebih berbahaya daripada tirani militeristik.
Dalam tirani militeristik, militer hanya mengendalikan modal politik, tidak menguasai modal budaya dan modal uang. Namun, tirani modal uang, para pengusaha hitam tidak saja memonopoli sektor-sektor perekonomian, tetapi juga bisa mengintervensi politik dan mengontrol kuasa budaya lewat media massa dan kekuatan-kekuatan simbolik di ruang publik.

Mengubah mental
Memang tidaklah mudah merubah kesadaran, cara berfikir, dan berani berbuat untuk sebuah negari dari sesuatu yang negatif menuju positif. Namun, jika mengingat bahwa kegagalan demi kegagalan telah dialami oleh negeri ini selalu dimulai dengan mentalitas rakyat yang kerap menadahkan tangannya untuk meminta-minta serta akan “marah” jika tidak diberi.
Mentalitas tersebut yang membuat bangsa ini tidak akan mendapatkan pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat. Sebab, sistem proposional terbuka memerlukan suara terbanyak, dan salah satu cara praktis untuk mendapatkan suara rakyat yaitu memberi rupiah agar dipilih. Sehingga maraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak telah mempengaruhi kualitas dan integritas yang kini sudah terpilih.
Oleh karenanya, perilaku buruk seperti meminta upeti kepada kandidat, rupiah menjadi faktor dalam menentukan pilihan, merubah dan memanipulasi surat suara, haruslah dihindari jauh-jauh karena selain merusak demokrasi itu sendiri perilaku tersebut juga akan mengakibatkan pemimpin yang jujur dan amanah sulit untuk terpilih.
Dalam situasi saat ini, diperlukan perubahan mental yang radikal di negeri ini. Rakyat harus disadarkan bahwa pemberian rupiah dalam pemilu, kelak akan sangat menyengsarakan, pasalnya bangsa ini tidak akan maju jika watak ”mencari selamat sendiri-sendiri” menjadi dasar dalam menentukan pilihan.
Kita harus berani meninggalkan pemilu yang mengandalkan politik uang pada setiap pemilu. Jangan mengorbankan kesejahteraan dan keadilan untuk memilih pemimpin yang busuk, yang hanya bisa menyebarkan uang untuk kesenangan rakyat sesaat.
Oleh karena itu, sekarang pilihannya ada ditangan kita, rakyat Indonesia semuanya: Apakah lebih memilih pemilu tanpa rupiah, atau cara-cara kotor (menggunakan politik uang) masih diperlukan dalam setiap pemilihan umum. Semoga kita menjatuhkan pilihan bukan berdasarkan rupiah, akan tetapi berdasarkan hati.

Satu hal yang mesti selalu diingat, Perubahan hanya bisa terjadi di persimpangan yang menentang arus, bukan di jalan yang lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar