"Uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya membutuhkan
uang."
Pernyataan tersebut menjadi falsafah hidup yang merasuki seluruh
akivitas politisi kita. Uang tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi uang
juga telah mampu mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala ruang. JANGAN
bicara politik kalau tidak punya uang, jangan bicara menduduki jabatan
struktural kalau tidak ada uang, dan jangan harap pula jadi PNS bila tidak
punya uang, dan jangan mimpi menang tender kalau tidak punya uang. Di negeri
ini semua diukur dengan uang. Punya uang, urusan lancar.
Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpisahkan, tetapi saling
menopang satu sama lain. Politik membutuhkan uang untuk mengatrol kemenangan,
sementara uang membutuhkan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh
keuntungan (more money).
Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha dan pengusaha
membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya akan memunculkan kekuatan luar
biasa. Dalam percaturan politik Indonesia, tren take and give antara uang dan
kekuasaan atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat.
Seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus mengeluarkan sekian trilyiun uang rupiah dari
kantongnya. Dengan demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi
merebut kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi angan yang mengawang. Sekarang,
politik dan kemenangan ditentukan oleh kuasa uang, bukan lagi milik para elite
semata. Elite tanpa uang tak mampu memenangkan pertarungan. Demokrasi yang
dipertontonkan saat ini berbiaya tinggi dan logikanya, hanya orang-orang yang
memiliki dana besar, terutama para konglomeratlah yang bisa bermain politik
atau yang berani ke gelanggang pertarungan politik. Merekalah yang kemudian
menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir supaya keuntungan-keuntungan
ekonomi-politik merembes dengan rapi. Demokrasi menjelma menjadi demokrasi
oligarkis. Demokrasi yang semestinya sebagai bentuk kekuasaan “di tangan
rakyat” menjelma menjadi kekuasaan “di tangan orang-orang kaya”, atau “para
pemilik modal besar”.
John Nichols dan Robert W McChesney mengkritisi demokrasi yang saat ini
sudah berubah menjadi “dollarocracy”. Pasalnya pada pemilu 2012 lalu di Amerika
Serikat (AS) menjadi pemilu paling mahal dalam sejarah negeri yang berjuluk
paman sam tersebut.Barack Obama menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp. 12
terliun. Sedangkan lawannya Mitt Romney menghabiskan biaya sekitar kurang lebih
Rp. 13 terliun.
Sama halnya dengan Indonesia, berapa trilyunan dana yang telah dihabiskan
pada pileg dan pilpres selama ini?!. Bedanya jika di Amerika Serikat dana
tersebut banyak dihabiskan untuk kampanye di media-media baik cetak atau
elektronik. Di Indonesia dana tersebut justru banyak dipakai untuk membeli dan
memanipulasi suara.
Adapun pengetahuan dan kekuasaan, Michel Foucault telah menyebutkan tentang
relasi Kekuasaan dan Pengetahuan. Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan
timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas
pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan
efek kekuasaan.
Namun uang dapat merekayasa pengetahuan. Alasannya, demokrasi mengajarkan
bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat. Itu artinya, rakyatlah yang memiliki
kekuasaan. Demokrasi juga mengajarkan kepada manusia untuk menjadikan suara
terbanyak sebagai jalan mengambil keputusan. Untuk mendapatkan kekuasaan dari
rakyat maka diselenggarakanlah pemilu. Melalui pemilu diharapkan terpilih lah penguasa
pilihan rakyat. Maka diperlukanlah memberikan pengetahuan kepada rakyat untuk
membentuk cara pandang mereka. Membentuk cara pandang masyarakat tentang sosok
pemimpin harus menggunakan berbagai cara dan melibatkan berbagai media, baik
tradisional maupun melalui media formal. Aksi kampanye untuk memberi
pengetahuan pada rakyat demi untuk menarik suara rakyat dilakukan oleh
pihak-pihak yang mencalonkan diri sebagai penguasa. Berbagai janji diobral,
uang dibagi-bagikan, kaos partai digratiskan, stiker disebarkan, konser
musikpun digelar, bahkan mobil mewah tak jarang diberikan cuma-cuma, semuanya
demi mendapatkan dukungan rakyat. Tidak sampai disitu, aksi melalui media
elektronik dan cetak pun gencar dilakukan. Liarnya praktik para politisi untuk
mencari rente demi biaya pencitraan dirinya agar kelak tetap terjaga opini di
masyarakat sehingga tetap mampu meraih suara signifikan di setiap kontestasi,
akhirnya menjadikan banyak politisi Indonesia tersandung kasus korupsi.
Uang telah menjadi penentu politik pemilihan langsung, seorang kandidat
sejak awal harus menyewa lembaga survei sekaligus konsultan untuk mengetahui
pengetahuan masyarakat. Jasa lembaga tersebut sangatlah fantastis, sekali
survei saja harus menyiapkan ratusan juta. Setelah mengetahui pengetahuan
politik masyarakat maka data tersebut menjadi bahan untuk merekayasa pengetahuan
yang harus diberikan kepada masyarakat agar mengenal sang calon melalui
berbagai trik politik marketing untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Bukan itu saja, model sosialisasi lainnya seperti membuat alat peraga ala
baliho maupun spanduk juga membutuhkan uang dengan jumlah besar. Sangatlah
sulit membentuk pengetahuan masyarakat tanpa memasang baliho dengan jumlah yang
besar karena dianggap sebagai cara yang ampuh untuk memperkenalkan awal sang
calon kepada masyarakat. Jika wilayah suatu daerah pemilihan luas, maka berapa
banyak baliho yang harus disiapkan, belum lagi baliho yang posisinya harus
berbayar.
Begitupula melalui media resmi seperti TV, majalah maupun koran. Setiap
kandidat yang punya kegiatan atau program harus mempublikasikan kegiatannya
melalui media yang diminati masyarakat karena sia-sia kegiatan tersebut jika
masyarakat tak mengetahuinya. Coba kita amati iklan politik di berbagai media
yang berhubungan dengan politik telah memenuhi iklan, itu salah satu bentuk
memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang sang calon. Padahal dalam dunia
periklanan, promosi maupun sosialisasi melalui media tersebut membutuhkan uang
yang tidak sedikit, kolom-kolom iklan kecil saja sampai harus menyiapkan
ratusan ribu, bagaimana jika iklan tersebut dalam bentuk full halaman, pasti
lebih mahal.
Begitu pentingnya membentuk pengetahuan masyarakat akan calon pemimpin yang
akan dipilihnya, akhirnya para kandidat harus bekerja ekstra memberi
pengetahuan dan mengendalikan cara pandang masyarakat tentang seorang pemimpin
ideal sesuai dirinya. Sejak model pemilihan langsung berlaku bagi kepala
daerah, episteme tentang sosok pemimpin telah terjebak dengan uang dan materi,
seorang pemimpin dianggap kapabel jika memiliki uang dan mampu memberi
pengetahuan kepada masyarakat bahwa ‘inilah saya, calon pemimpin anda
sekalian’.
Tanpa harus terlalu mempertimbangkan apakah rakyat yang memilih itu tahu
dan memahami visi, misi, tujuan, target dan lain-lainya dari yang dipilih. Bukankah
pemenang pemilu adalah mereka yang memperoleh lidi terbanyak dari rakyat? Yang
penting dipilih rakyat, itulah suara demokrasi. Sebenarnya yang diketahui
kebanyakan rakyat hanyalah gambar orangnya, nama partainya, uang yang
dibagikannya. Jadi memilih penguasa tanpa mengetahui kepribadian calon penguasa,
itulah sebenarnya yang terjadi.
Hasrat kekuasaan
Foucault juga menjelaskan tentang manusia tidak hanya bergantung pada
pengetahuan tetapi juga merupakan pelaku yang membentuk sebuah kekuasaan.
Kekuasaan bukanlah suatu struktur politis seperti pemerintah atau kelompok
sosial yang dominan. Kekuasaan bersifat tersebar dan tidak dapat dilokalisasi,
tidak represif, produktif, bukan suatu hal yang dapat diukur. Kekuasaan tidak
dapat diperoleh, dibagikan, dan diambil. Kekuasaan hanya dapat terjadi jika
tidak adanya kesetaraan. Kekuasaan ada di mana-mana karena kekuasaan terdiri
dari individu sebagai pelaku kekuasaan yang merupakan kekuasaan mikro, yang
terdapat dalam keluarga, sekolah, lingkungan, kantor, sampai negara.
Gambaran tersebut seharusnya menjadi rujukan kita bahwa sesungguhnya hasrat
ingin memiliki kekuasaan sehingga mewajibkan untuk menyiapkan uang yang besar.
Inilah problem pemilihan langsung sekarang, uang telah menjadi syarat wajib
membentuk pengetahuan untuk memiliki kekuasaan. Lihatlah fakta hasil setiap
calon dan kandidat yang terpilih di suatu kontestasi, hanya merekalah yang
berduit mampu menaklukkan kekuasaan.
Belum ada dalam sejarah politik pemilihan langsung di Indonesia seorang
kandidat yang terpilih tidak mengeluarkan uang yang besar pada momentum
kontestasi. Walaupun faktanya jika aturan tentang penggunaan dana untuk
kampanye telah dibatasi, tapi setiap kandidat pasti menutupi sumber-sumber dan
penggunaan uangnya di setiap akhir suatu kontestasi.
Meminjam kata John Nichols dan Robert W McChesney, demokrasi di negeri ini
mungkin telah menjadi “rupiah krasi” ketika tidak adanya pertumbuhan yang
efektif, sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme terus tumbuh subur.
Perselingkuhan antara pemilu dan rupiah sesungguhnya sangat merugikan
rakyat banyak. Kenapa? Karena, hal tersebut mengakibatkan para calon yang
terpilih akan berfikir bagaimana cara mengembalikan uangnya yang telah
disebarkan pada saat pemilihan umum. Salah satu cara yang cepat untuk
mengembalikan uangnya adalah korupsi atau bermain proyek.
Hal itu juga mengakibatkan pergeseran ke arah politik padat modal
menjadikan demokrasi sebagai kuda tunggangan pemilik modal uang.
Sejauh para konglomerat pemilik uang itu memperoleh akumulasi kapitalnya
dengan cara-cara tidak sehat, maka lewat prosedur demokrasi pengusaha hitam itu
mendikte urusan publik, menutupi persekongkolan jahatnya dengan makelar kasus
dan mafia hukum, dan menjadikan urusan publik (republic) menjadi urusan privat.
Dengan demikian, meski perangkat keras institusi dan prosedur politik kita
seolah-olah demokratis, perangkat lunaknya berwatak tirani, bahkan lebih
berbahaya daripada tirani militeristik.
Dalam tirani militeristik, militer hanya mengendalikan modal politik, tidak
menguasai modal budaya dan modal uang. Namun, tirani modal uang, para pengusaha
hitam tidak saja memonopoli sektor-sektor perekonomian, tetapi juga bisa
mengintervensi politik dan mengontrol kuasa budaya lewat media massa dan
kekuatan-kekuatan simbolik di ruang publik.
Mengubah mental
Memang tidaklah mudah merubah kesadaran, cara berfikir, dan berani berbuat
untuk sebuah negari dari sesuatu yang negatif menuju positif. Namun, jika
mengingat bahwa kegagalan demi kegagalan telah dialami oleh negeri ini selalu
dimulai dengan mentalitas rakyat yang kerap menadahkan tangannya untuk
meminta-minta serta akan “marah” jika tidak diberi.
Mentalitas tersebut yang membuat bangsa ini tidak akan mendapatkan pemimpin
yang diidam-idamkan oleh rakyat. Sebab, sistem proposional terbuka memerlukan
suara terbanyak, dan salah satu cara praktis untuk mendapatkan suara rakyat
yaitu memberi rupiah agar dipilih. Sehingga maraknya politik uang dalam proses
pemilu sedikit banyak telah mempengaruhi kualitas dan integritas yang kini
sudah terpilih.
Oleh karenanya, perilaku buruk seperti meminta upeti kepada kandidat,
rupiah menjadi faktor dalam menentukan pilihan, merubah dan memanipulasi surat
suara, haruslah dihindari jauh-jauh karena selain merusak demokrasi itu sendiri
perilaku tersebut juga akan mengakibatkan pemimpin yang jujur dan amanah sulit
untuk terpilih.
Dalam situasi saat ini, diperlukan perubahan mental yang radikal di negeri
ini. Rakyat harus disadarkan bahwa pemberian rupiah dalam pemilu, kelak akan
sangat menyengsarakan, pasalnya bangsa ini tidak akan maju jika watak ”mencari
selamat sendiri-sendiri” menjadi dasar dalam
menentukan pilihan.
Kita harus berani meninggalkan pemilu yang mengandalkan politik uang pada
setiap pemilu. Jangan mengorbankan kesejahteraan dan keadilan untuk memilih
pemimpin yang busuk, yang hanya bisa menyebarkan uang untuk kesenangan rakyat
sesaat.
Oleh karena itu, sekarang pilihannya ada ditangan kita, rakyat Indonesia
semuanya: Apakah lebih memilih pemilu tanpa rupiah, atau cara-cara kotor
(menggunakan politik uang) masih diperlukan dalam setiap pemilihan umum. Semoga
kita menjatuhkan pilihan bukan berdasarkan rupiah, akan tetapi berdasarkan hati.
Satu hal yang mesti selalu diingat, Perubahan hanya bisa terjadi di
persimpangan yang menentang arus, bukan di jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar