Minggu, 02 Oktober 2016

Tahun Baru Hijriah, Momentum Perubahan Peta Politik Umat Islam


Salah satu perbedaan antara umat Islam dengan umat selain Islam adalah terkait penanggalan tahun. Jika umat lain memiliki penanggalan tahun yakni seperti tahun masehi untuk agama masehi (agama nasrani,red), tahun baru Saka untuk umat Hindu, maka umat Islam pun memiliki kalender tahunan sendiri yakni yang dikenal dengan kalender Hijriah sebagai tahun baru Islam dengan 1 Muharram sebagai awal tahun baru Islam/tahun hijriyah.

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada Tahun Gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior seperti Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a.

Mereka kemudian bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

Sekilas perbedaan antara penanggalan Masehi dengan penanggalan Hijriah

Dalam sistem penanggalan qamariyah, waktu diukur berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Satu kali putaran membutuhkan waktu antara 29 hingga 30 hari. Karena itulah maka disebut bahwa 29 atau 30 hari itu sebagai satu bulan. Maka kalau kita bicara tentang perhitungan bulan, yang lebih tepat adalah sistem penanggalan qamariyah. Sebab satu bulan dalam penanggalan qamariyah adalah waktu yang dibutuhkan oleh bulan untuk mengelilingi bumi kita.
Menurut sistem qamariayah, setahun adalah waktu yang dibutuhkan bulan untuk mengelilingi bumi sebanyak 12 kali.
Sedangkan dalam sistem penanggalan syamsiyah, waktu diukur berdasarkan lamanya bumi mengitari matahari. Lamanya 365 1/4 hari dalam satu kali putaran. Dan disebut satu tahun.
Kemudian, waktu satu tahun itu dibagi menjadi dua belas tanpa dasar apapun kecuali kebijakan saja. Sehingga usia bulan itu menjadi berlainan, kadang 31 hari, kadang 30 hari, kadang 29 hari dan bisa juga 28 hari. Siapa yang menentukan? Para penguasa di masa Romawi kuno dahulu. Oleh karena itu, satu tahun menurut sistem qamariyah berbeda dengan sistem syamsiah.

Kembali ke titik tolak dimulai tahun Hijriah, menarik kalau kita telaah kenapa Ali ra mengusulkan agar momentum yang digunakan adalah saat Nabi Muhammad saw hijrah dari Kota Makkah ke Madinah yang kemudian di sepakati oleh seluruh sahabat sebagai tahun baru Islam yang pertama.
Perlu dipahami Rasul saw beserta kaum Muhajirin, hijrah dari Mekah ke Madinah bukan dalam rangka eksodus atau pelarian diri dari siksaan dan kejaran kaum Quraisy kala itu, namun murni karena perintah Allah swt. Karenanya Rasul saw pernah bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang terbaik, dan aku mencintai bumi Allah kerana Allah, jika tidak karena aku dikeluarkan dari Makkah (diperintahkan untuk berhijrah), niscaya aku tidak akan keluar dari bumi ini.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Kota Makkah kala itu merupakan suatu wilayah atau negeri yang di dalamnya berlaku kehidupan kufur jahiliyah, sedangkan Madinah adalah suatu negeri dimana di dalamnya terdapat kehidupan yang Islami, berbanding terbalik dengan kehidupan yang berlangsung di Makkah. Ini berkat usaha dari Mush’ab bin ‘Umair yang di utus oleh Rasulullah saw untuk ke Yastrib (nama Madinah waktu itu) guna menyampaikan Islam, dan alhamdulillah, kurang lebih selama dua tahun kemudian Mush’ab bin ‘Umair berhasil menjadikan penduduk Yastrib memeluk Islam yang diawali dengan masuk Islamnya ahlul quwwah kota Yastrib yakni Sa‘ad bin Muadz bin An-Nu’man  dari  Suku Aus dan Sa‘ad bin Ubadah dari suku Khazraj, serta menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kaedah berfikir mereka, dan syariat Islam sebagai pengatur kehidupan mereka.
Setelah itu kemudian para sahabat Nabi melakukan hijrah dari kota Makkah menuju Kota Madinah, yang kemudian diikuti oleh hijrahnya Rasulullah saw yang ditemani oleh Abu Bakar ra setelah mendapat ijin dari Allah swt untuk berhijrah ke Madinah.
Umar ra saat pernah berkata bahwa “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan” (HR Ibn Hajar).
Secara bahasa, hijrah adalah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefiniskan hijrah yakni keluar dari darul kufur menuju Darul Islam.
Maka seharusnya, sebagai muslim yang baik, kita seharusnya betul-betul memahami apa makna hakiki di balik peristiwa Hijrah yang kemudian dijadikan sebagai penanggalan tahun untuk umat Islam yakni tahun Hijriah. Bukan hanya sebatas perayaan seremonial setiap akan memasuki tanggal 1 Muharram sebagai pertanda mulai masuknya tahun baru Islam.

Makna hijrah Nabi saw sebenarnya lebih bermuatan politik, dengan ujung perjalanan menerapkan Islam secara menyeluruh dengan tegaknya sebuah negara (Daulah Islam), hal ini sesuai informasi Sirah Nabawiyah secara mutawatir historis. Bahkan seorang penulis Katolik berkebangsaan Inggris, Jhon Austin berkata: Dalam kurun waktu hanya sedikit lebih dari satu tahun, Beliau sudah menjadi pemimpin di Madinah. Kedua tangannya memegang sebuah tuas yang siap mengguncang dunia. (Muhammad the Prophet of Allah, in T.P.’s and Cassel’s Weekly for 24th September 1927).
Dengan demikian makna dibalik hijrah Nabi saw adalah perubahan peta politik baik dalam negeri maupun luar negeri. Artinya kaum muslim tidak boleh menjadikan momen peringatan hijrah, hanya sebagai seremonial belaka, namun mesti memiliki efek signifikan dalam perubahan kondisi negeri yang mayoritas berpenduduk muslim ini, dari kondisi yang rusak menjadi kondisi yang Islami. Lalu jika memang sepakat dengan konteks ini, bagaimana cara mewujudkannya?

Pertama, melakukan edukasi atau penyadaran tentang kondisi kerusakan yang ada di negeri ini, hal ini tidak dimaksudkan menyerang individu tertentu, namun dimaksudkan agar umat memahami bahwa terdapat kerusakan yang terjadi sehingga mendorong mereka untuk memperbaikinya secara revolusioner, tidak parsial. Misal, masalah korupsi, kerusakan moral, birokrasi buruk, kezhaliman yang menimpa umat dan lain sebagainya. Semua diselesaikan mesti secara integral dan revolusioner.

Kedua, menyiapkan konsep atau sistem pengganti bagi sistem yang sudah diketahui secara nyata rusak dan mesti diganti. Konsep atau sistem pengganti ini mesti digali berdasarkan istinbath dan istidlal yang sesuai Syariah. Ketika pemerintahan bersistem non Islam ini rusak, maka disiapkanlah konsep Sistem Pemerintahan Islam, yang mana dijelaskan disana mampu membawa kepada kehidupan sesuai Islam dan mendapat keridha’an Allah swt. Ingat bahwa perubahan sistem adalah kontekstualisasi hijrah masa kini, karena hijrah didefinisikan para ulama dengan keluar dari darul kufur menuju darul Islam, yakni keluar dari kondisi kekufuran dan menuju wilayah yang diterapkan Islam secara komprehensif disana.

Ketiga, melakukan gerakan secara terorganisir bersama kelompok atau partai dakwah yang hakiki memperjuangkan Islam dan ber-Ideologi Islam. Sehingga energi umat Islam bisa fokus dalam dua hal sebelumnya, sembari terus menciptakan kader-kader dakwah Ideologis sejati, yang jiwa dan raganya hanya demi Islam dan kemuliaan umat Islam. Sembari berhati-hati agar terus konsisten dengan ideologinya, mesti ada yang menawari dengan harta, tahta dan jabatan.

InsyaAllah dengan tiga hal tersebut perubahan peta politik Umat Islam, yang asalnya selalu berpihak kepada musuh Islam, akhirnya berpihak kepada Islam. Setelah ketiga hal tadi dilakukan secara maksimal, dengan izin Allah, selanjutnya secara logis umat pasti akan memihak Islam dan mau memberikan kekuasaanya kepada Ideologi Islam, yang kelak akan dikristalkan menjadi entitas pelaksana pemikiran dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiyyah. 

Wallahu a’lam bishshawab
Selamat menyambut tahun baru Islam , 1 Muharram 1438.
Marhaban Ya Muharram...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar