Minggu, 07 Mei 2017

Jangan Serahkan Urusan Agama kepada Orang Jahil

 
Imam al-Ghazali menggambarkan, seorang ulama itu bagaikan dokter (thabib). Jika dokter mengobati penyakit badan, maka ulama mengobati penyakit batin.
 
Jika badan sedang diserang penyakit, maka kita bercepat mencari dokter terbaik. Agar penyakit segera disembuhkan. Maka, usaha mengobati penyakit batin haruslah lebih serius lagi. Sebabnya, dampak penyakit batin jauh lebih mematikan daripada penyakit badan. Ketika batin sedang rusak, bercepatlah mencari ulama terbaik.
 
Rasa sakit dari penyakit badan hanya bisa dirasakan di dunia. Jika ruh dicabut, maka rasa sakit dan penyakit itu hilang. Tetapi, penyakit batin berbeda. Rasa sakitnya dirasa di dunia sampai di akhirat. Kesakitan di akhirat jauh lebih pedih.
 
Karena itu, usai zaman Nabi Saw dan para sahabatnya, nasib agama berada di tangan ulama. Baik dan buruknya masyarakat dan negara dikembalikan dari kualitas ulamanya.
 
Zaman selalu berlalu dan berganti. Dengan imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hambali, Imam al-Ghazali, Imam Nawawi dan lain-lain kita tidak pernah berjumpa. Tetapi, karya-karya nya saja bisa kita kenali. Mereka adalah contoh ulama panutan yang hebat.
 
Bagaimana dengan sekarang? Yang jelas, kita merasakan orang-orang yang layak menjadi panutan semakin langka. Ada yang berbaju ulama, tetapi lidahnya mewakili orang munafik dan orang kafir. Padahal, kita tidak kehabisan orang-orang cerdas, dan pintar.
 
Pada era modern sekarang ini, cerdas dan pintar saja tidak cukup. Akan tetapi cara berfikirnya (frameworknya) harus betul dan tepat. Bahkan, ulama sekarang harus memahami perkembangan ilmu pada zamannya. Prof. Syed Naquib al-Attas mengatakan, mengerti sejarah itu hukumnya wajib (seperti diungkapkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud kepada penulis). Jika tidak, maka bencana agama akan menimpa.
 
Rasulullah Saw bersabda:

آفَةُ الدِّيْنِ ثَلَاثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَأمٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ
”Bencana terhadap agama itu ada tiga: ulama yang fajir (banyak melakukan dosa), pemimpin yang jair (kejam dan zalim), serta mujahid yang jahil.” (HR. Al-Dailami).
 
Dari hadis di atas setidaknya ada tiga perkara yang disinyalir merupakan faktor bencana terhadap agama. Ketiganya kini semakin jelas dan nyata berada di tengah-tengah kita. Rasulullah Saw menyebutkan ulama yang fajir atau banyak melakukan dosa. Maksudnya, mereka yang mengerti tentang hukum-hukum halal, haram, sunah, makruh, dan sebagainya, tetapi dia tidak mengamalkannya dan tindak-tanduknya tidak sesuai dengan kapasitas ilmunya.
 
Ketiga orang yang disebut hadi Nabi Saw di atas adalah kelompok orang tertipu. Dalam banyak pembahasannya, Imam al-Ghazali sering menyinggung orang-orang yang tertipu agamanya.
 
Ketika sesuatu itu berada di tangan orang yang bukan ahlinya, maka dipastikan sesuatu itu rusak. Seorang yang tidak ahli ilmu komputer, lalu memakainya. Ia akan merusak alat elektronik tersebut. Persoalan besarnya adalah kelompok yang laa ya’rifu annahu jahil/ لَايَعْرِفُ أَنَهُ جَاهِلٌ  (tidak sadar dirinya orang bodoh). 
 
Di antaranya ada yang hanya pandai bicara lalu berbaju dan berlagak ulama. Kesibukan mereka adalah mengumpulkan dunia, harta dan uang. Keinginan mereka adalah memperoleh kehormatan, pengaruh, dan dipuji-puji oleh orang banyak.
 
Jika mengajar dan berdakwah, niat mereka tidak murni karena Allah. Di hati mereka dipenuhi oleh najis-najis bathin. Mudah dengki dan merasa tersaingi jika terdapat orang lain yang melakukan kegiatan serupa. Padahal semestinya jika niat karena Allah, hati akan senang, sebab ada yang membantu dalam membimbing manusia menuju Allah. Namun bagi kelompok ini rupanya tidak, malah berupaya agar orang lain itu pindah bahkan berharap cepat mati. Perangai ini dilaknat oleh Allah. Karena memanfaatkan agama untuk kepentingan dirinya.
 
Rasulullah Saw bersabda: “Ambisi kedudukan itu dapat menimbulkan sifat kemunafikan” (Ditulis dalam kitab Kitabul Arba’in fi Ushiddin oleh Imam al-Ghazali).
 
Salah satu tanda dekatnya akhir zaman adalah para ulama banyak yang wafat tidak ada yang menggantikan dengan kapasitas yang setara. Tetapi digantikan oleh orang-orang jahil. Rasulullah Saw bersabda:
 
إِنَّ اللَّهَ لا يَنْزِعُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا أَيْ يَنْتَزِعُهُ مِنْ صُدُورِ النَّاسِ وَلَكِنْ يَنْزِعُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Bahawasanya Allah Swt tidak akan mencabut (menghilangkan) ilmu sekaligus dari manusia. Tetapi Allah Swt menghilangkan ilmu agama dengan mewafatkan para ulama. Ketika para ulama telah tiada, orang banyak akan memilih orang-orang jahil sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang jahil itu ditanyakan, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan orang lain” (HR Muslim).
 
Dalam sejarah peradaban Islam, muara kebangkitan peradaban Islam kepada ilmu dan ulama. Imam al-Ghazali mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
 
Setidaknya ilmuan yang bisa menjadi panutan dapat dilihat dari tiga segi; akidahnya benar, tidak cinta dunia dan kedudukan, serta faham masalah kekinian yang dihadapi masyarakat.
 
Jika zaman ini ada ilmuan yang memenuhi kriteria tersebut, maka kita wajib angkat sebagai panutan, imam dan guru. Menyia-nyiakan adalah kesalahan besar. Peluang hendaknya tidak disia-siakan.
 
Begitu pula jika banyak orang jahil berebut menjadi pemimpin terdepan, maka orang alim haram berdiam diri. Berdiam dengan alasan tawadhu’ adalah dosa. Tawadhu ada tempatnya. Jika membiarkan orang jahil maju ke depan dan memundurkan diri, maka ini bukan tawadhu’.
 
Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Showaiq al-Muhriqah, hal. 10, Nabi Saw bersabda:
 
إِذَا ظَهَرَتِ الْفِتَنُ أَوِ الْبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِي فَلْيُظْهِرِ الْعَالِمُ عِلْمَهُ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ, وَلا يَقْبَلُ اللَّهُ لَهُ صَرْفًا وَلا عَدْلا
“Jika telah nampak fitnah agama atau bid’ah, dan para sahabatku dicela, maka hendaknya orang alim menampakkan ilmunya. Barang siapa yang tidak melakukan (menampakkan ilmunya), maka dia dilaknat oleh Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Ibadah wajib dan sunnah tidak diterima” (HR. Al-Hakim).
 
Jika kita diam dan orang jahil menampakkan diri, maka jangan salahkan jika akhirnya agama dan negeri ini dipimpin orang yang dzalim, jahat dan bodoh. Agama rusak, maka negeri pun rusak keruhaniannya.
 
Kita tentu tida rela jika misalnya Islam hanya tinggal simbolnya saja. Negera dikendalikan oleh penjajah asing. Maka, jika kita ingin selamat, jangan serahkan urusan agama ini kepada orang jahil. Andai orang bodoh atau yang tidak ahli itu diam, niscaya tidak ada kekacauan (confuse) dalam pemahaman orang tentang agama.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar