Kamis, 29 September 2016

ISLAM DAN POLITIK (Islam mengatur politik dan politik bagian dari Islam)

Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada. juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama. Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar.
Namun, saat kata politik disandingkan dengan “ISLAM”, saat benderanya berkibar di langit-langit, saat suara para pembaru muslim yang meneriakkan “sistem politik Islam” melengking memasuki pendengaran generasi muda muslim dan mewarnai pola pikir mereka, ada banyak pihak yang berupaya menghalangi usaha itu.

Faktanya memang sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak. Di era 70-an ada jargon yang sangat terkenal yaitu "Islam Yes, Politik No".


Sebelum mengetahui bagaimana Islam memandang persoalan politik, ada baiknya kita meninjau beberapa pengakuan dari beberapa tokoh politik dunia terhadap hal tersebut. John L. Esposito dalam Islam and Politics, dengan jujur mengakui realitas sejarah umat Islam di masa awal hingga keruntuhannya senantiasa berpaku kepada aqidah Islam, Esposito menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, menurutnya dasar ideologi masyarakat maupun Negara saat itu adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam. (Esposito, 1990).
Bukan hanya Esposito, banyak sekali orientalis lainnya -terlepas dari kesimpulan yang diambilnya dan juga maksud dari pernyataan-pernyataannya- yang mengakui bahwa Islam bukan sebatas agama spiritual (ruhiyah) melainkan agama politik (siyasah). Adalah Fathi al-Durayni, ilmuwan asal Yordania, dalam bukunya Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm (خصائص التشريع الاسلامي في السياسة والحكم), berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat; Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa aktivitas politik kaum muslim dipandang sebagai ibadah, seperti halnya sholat, zakat, puasa dan sebagainya.

Senada dengan itu, Syaikh al-Qaradawi menyatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam. Pendapat-pendapat para ulama dunia di atas sejalan dengan ulama-ulama terdahulu. Imam Ibn Taymiyyah, misalnya, beliau menyatakan bahwa kekuasaan politik merupakan  "من أعظم واجبات الدين" (satu kewajiban agama yang utama).

Pengertian Politik
Politik berasal dari Bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika-yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites-warga negara) dan πόλις (polis-negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata “politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata “politisi” berarti orang-orang yang menekuni hal politik. Dalam perspektif barat, politik seringkali dimaknai sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (KBBI online). Dari pengertian tersebut, maka istilah politik dilihat secara bahasa lebih menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda dengan pengertian di atas, Politik dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Siyasah (سياسة). Oleh sebab itu, di dalam kitab-kitab para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya dalam kamus Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa (ساس) – yasûsu (يسوس). Dalam kalimat ساس الدواب يسوسها سياسة berarti قَامَ عَلَيْهَا وَرَاضَهَا وَأَدَّبَهَا (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan سَاسَ الْأَمْرَ  artinya دَبَّرَهُ (mengurusi/mengatur urusan). Kata سَاسَ – يَسُوْسُ - سِيَاسَةً berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan. Namun perlu disampaikan disini, bahwa kata سياسة atau bentuk lain yang bersumber dari akar kata yang sama tidak ditemukan dalam Al-qur’an. Akan tetapi ada disebutkan dalam Hadits Rasul salallahu ‘alaihi wasallam dengan bentuk “تسوسهم الأنبياء”.
Jadi, Politik, secara bahasa dalam bahasa Arab berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik.
Jika dalam Bahasa Inggris “politik” identik dengan kekuasaan, maka dalam Bahasa Arab arti “siyasah” lebih menekankan pada arti pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pada pelaksanaan perpolitikan itu sendiri. Maka wajar saja jika politik sekarang lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Oleh karena itu, wajar jika Harold Laswell dalam “Who Gets What, When and How” yang lebih mengedepankan masalah politik dengan berkutat pada persoalan SIAPA mendapat APA, KAPAN dan BAGAIMANA. Falsafah inilah yang saat ini dianut oleh kebanyakan orang (politikus) saat ini untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok atau pemilik modal. Para politikus hanya peduli rakyat saat kampanye Pemilu. Itu pun hanya dengan menebar janji-janji kosong kepada rakyat.

Politik menurut Islam
Adapun السياسة atau Politik secara istilah dalam Islam adalah:
Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil (ulama Hanbali) Rahimahullah berkata:
السياسة ما كان من الأفعال؛ بحيث يكون الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد، وإن لم يشرعه الرسول صلى الله عليه وسلم ولا نزل به وحي
Siyasah (politik) adalah segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tidak disyari’atkan oleh Rasul dan tidak ada wahyu yang diturunkan tentangnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in).
Ibnu Najim (Ulama Hanafiyah) Rahimahullah memberikan pengertian lain, yaitu:
Mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat”
Imam An Nawawi (ulama Syafi'iyah) Rahimahullah mengatakan tentang makna “Siyasah”:
القيام على الشيئ بما يصلحه
"Menegakkan/menunaikan sesuatu dengan apa-apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim).
Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah juga pernah berkata:
لا سياسة إلا ما وافق الشرع
Tidak ada politik, kecuali yang sesuai dengan syariat”.
Dan juga beberapa perkataan-perkataan ulama Islam yang lain, yang semunya berkesimpulan bahwa pengertian politik dalam Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam buku Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menulis: ”Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.”

Jika dilihat dari definisi siyasah, baik secara bahasa dan istilah, maka pada dasarnya siyasah (politik) adalah tindakan yang mulia, yang mengantarkan manusia kepada kebaikan dan jauh dari kerusakan, singkatnya; upaya manusia mengatur manusia lainnya. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim menyebutnya sebagai keadilan Allah Ta’ala, hanya saja manusia terlanjur menyebutnya siyasah (بل هي موافقة لما جاء به، بل هي جزء من أجزائه، ونحن نسميها سياسة تبعًا لمصطلحهم، وإنما هي عدل الله ورسوله).

Bidang amaliyah politik tidak hanya terbatas pada pemerintah, partai, dan parlemen, walau itulah asosiasi pertama pada ruang berpikir manusia jika disebut kata ‘politik’. Jika melihat definisinya, maka dia ada di setiap tempat manusia berinteraksi. Ada siyasah di rumah kita, di pasar, di dayah, di kampus, di kantor, bahkan di majelis ta’lim. Karena, hakikat siyasah adalah pengaturan dan manajemen tadi.
Bahkan di dalam hadits muttafaq ‘alaih, disebutkan bahwa siyasah (politik) merupakan perilaku para nabi kepada kaum Bani Israel, dengan kata lain politik adalah warisan kenabian.

Pengertian di atas merupakan pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari definisi ini pula, dapatlah kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku, yaitu Negara dan Umat/rakyat, kemudian meliputi pengaturan dalam negeri dan luar negeri, dan terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum Islam. Lebih khusus berkenaan dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa perundang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta (Allah), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (الأشياء) dan perbuatan (الافعال) adalah Allah sebagai Pembuat Hukum (الشارع) sebagaimana firman Allah SWT:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (al-An’am-57)
Atas dasar inilah maka dalam Islam kedaulatan berada di tangan Syara’ bukan di tangan rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta yang sumber lain yang ditunjuki oleh keduanya yakni berupa ijma’ dan qiyas syar’iyyah. Keempat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara’ (Syari’at Islam). Mayoritas ulama Islam tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah al-Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Imam al Syaukani menyatakan tidak ada perselisihan dalam masalah ini.

Namun, politik Islam yang mulia telah diubah oleh paham sekularisme sedemikian rupa sehingga politik tersebut berwajah penuh kedustaan, penipuan, penyesatan dan pembodohan baik oleh penguasa maupun politisinya. Akibatnya, muncul anggapan bahwa politik itu kotor dan agama suci sehingga agama harus dipisahkan dari politik atau sebaliknya. Padahal tanpa agama perpolitikan merupakan hutan belantara. Karena itu dalam buku-buku fikih siyâsah dikenal kaidah: Islam adalah agama yang salah satu kandungannya politik (الإسلام دين ومنه السياسة).

Islam Mengatur Politik dan Politik Adalah Bagian Dari Islam
Syari'ah Islam mencakup tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.
Politik dalam Islam telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam. Politik adalah bagian dari Islam. Bahkan menjadi salah satu anjuran dan perilaku para nabi.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka, dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)
Dari Abu Hurairah dari Nabi salallahu ‘alaihi wasallam. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah”.(H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim)
Hadis ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasa dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari. Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam.

Politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya:
Pertama, Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas berbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Dalam al-Quran, Allah SWT, bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan; كتب عليكم الصيام (Al-Baqarah: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan; كتب عليكم القصاص (Al-Baqarah: 78). Di dalam Al-Baqarah: 216 Allah SWT pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: كتب عليكم القتال. Menurut para mufassir, semua kalimat kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna فرض عليكم (diwajibkan keatas kamu).

Al-Quran juga tak hanya membahas shalat, أقم الصلاة (Al-Baqarah: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (Al-Baqarah: 275), juga saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (Al-Hasyr: 7).

Kedua, seperti yang telah disebutkan di atas, apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul salallahu ‘alaihi wasallam. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. bermusyawarah bersama para Sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang. Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga). Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu. Sayang, kini fungsi masjid mengalami penurunan. Tidak seperti pada masa Rasul salallahu ‘alaihi wasallam. dan para khalifah sesudahnya, kebanyakan masjid saat ini hanya digunakan untuk ibadah ritual saja. Di negeri ini, proses depolitisasi masjid (menjauhkan masjid dari kegiatan politik Islam) sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam, Snouck Hourgunje, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Belanda untuk melarang masjid-masjid dan umat Islam dari kegiatan politik. Dengan cara seperti itu Belanda bisa memastikan umat Islam tidak akan pernah bangkit dan mampu melakukan perlawanan terhdap penjajahan. Snouck yang dididik untuk mempelajari Islam tahu betul bahwa jika fungsi masjid sepenuhnya dipakai, bibit-bibit perjuangan yang muncul untuk melawan penjajah akan semakin sulit untuk dipadamkan.

Maka, memisahkan Islam dengan politik adalah pemahaman asing yang tidak dikenal di dalam syariat dan sejarah panjang umat ini. Sekulerisme adalah paham yang dibawa kaum gerejani dan doktrin Bible, yang berfaham, “Berikan hak Kaisar kepada Kaisar (maksudnya negara dan kekuasan) dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan (maksudnya urusan agama),” dan pemahaman ini  disisipkan ke dalam pemahaman umat Islam; sebagiannya menimpa  pemikirnya. Sampai-sampai Syaikh Muhammad Abduh pernah mengatakan; aku berlindung dari politik, berlindung dari kajian politik, dan berlindung dari para politikus.

Politisasi Agama?
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dll. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih.
Bagaimana pula, misalnya, sikap terkait dengan kepemimpinan wanita dalam Islam. Ada pihak yang awalnya menolak karena Islam mengharamkan perempuan menjadi kepala negara, tiba-tiba bersikap sebaliknya. Argumentasi yang dibangun berdasarkan pada alasan keagamaan pula. Kata mereka, perempuan boleh menjadi kepala negara karena keadaan darurat. Sekali lagi, inilah yang layak dianggap sebagai “politisasi agama”.
Politisasi agama adalah buah dari sistem demokrasi liberal yang busuk. Nader Hashemi, seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver, dalam bukunya, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, menyatakan, “Reinterpretasi (penafsiran kembali) ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif.”
Demikianlah yang terjadi saat politik tidak diatur berdasarkan syariah Islam yang mulia, tetapi berdasarkan ideologi Kapitalisme, yang menjadikan manfaat sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini, sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara -termasuk “politisasi agama”- menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik.

Prinsip-prinsip Politik Islam
Dalam urusan politik, Islam telah mensyari’atkan aturan yang paling sempurna dan adil. Islam mengajari umatnya segala yang seharusnya dilakuan dalam berintraksi (muamalah) dengan sesama Muslim atau dengan yang lainnya. Dalam peraturannya, Islam menggabungkan antara rahmah (kasih sayang) dengan kekuatan, menggabungkan antara sikap lemah lembut dengan kasih sayang terhadap semua makhluk sesuai kemampuan. Jika dengan lembut dan kasih sayang tidak bisa, maka kekuatan yang dipergunakan, namun dengan penuh hikmah dan keadilan, bukan dengan kezhaliman dan kekerasan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (An-Nahl 90-91)
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar berlaku adil, menyayangi dan berbuat baik kepada setiap orang. Disamping itu, Allâh Azza wa Jalla juga melarang perbuatan keji serta semua tindak kezhaliman, baik yang berkaitan dengan nyawa, harta, kehormatan dan hak-hak kemanusiaan.
Allâh Azza wa Jalla menyuruhkan umat manusia agar menepati janji dan melarang semua tindakan yang melanggar penjanjian.
Semua perkara yang diperintahkan maupun yang dilarang, diantaranya ada yang wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin, tanpa ada pilihan lain. Yaitu perkara-perkara yang langsung disebutkan dan dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla.
Perkara-perkara ini masuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak juga bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab 36)
Juga firman-Nya :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’ 65)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ 59)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah.” (Asy-Syura 10)
Semua jenis perkara di atas sangatlah sesuai dengan perinsip keadilan dan hikmah serta selaras dengan kemaslahatan dan mampu menangkal mudharat.

Disamping perkara-perkara yang telah disebutkan dengan jelas dan gamblang, adapula perkara-perkara yang belum jelas. Dalam perkara-perkara yang masih belum jelas, baik dasar maupun cara penerapannya, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk bermusyawarah dan menimbangnya dari semua sisi; Memperhatikan syarat serta kaidah-kaidahnya juga akibatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran 159)
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
"Sedang urusan mereka dimusyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-Syura 38)

Dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, syari’at memberikan keleluasaan, setelah meletakkan kaidah-kaidah yang cocok untuk setiap waktu dan tempat, meskipun keadaan manusia telah berubah dan berkembang. Semua kaidah syari’at tersebut bila diterapkan dengan baik dan benar, dalam masalah besar maupun kecil, maka akan mendatangkan kebaikan dan menangkal keburukan. Namun, pengkajian dan penerapan kaidah-kaidah tersebut memerlukan majelis atau lembaga yang diisi para Ulama yang memiliki kompetensi dan kafabelitas sebagai Ulama. Anggota lembaga ini membahas semua permasalahan, satu persatu. Pembahasannya mencakup semua sisi, memberikan diskripsi tentang suatu pemasalahan sebagaimana mestinya, memperkirakan segala hal yang berhubungan dengannya, serta memperhatikan maslahat yang ingin diraih dan metode termudah untuk mencapainya.
Lembaga itu juga membahas perkara-perkara yang berpotensi menimbulkan mudarat yang harus ditangkal. Pembahasannya meliputi penyebab dan sumbernya, mencari metode untuk menghilangkan mudharat, kemudian menghilangkannya secara keseluruhan atau meminimalisir pengaruh negatifnya.
Termasuk dalam siyâsah syar’iyah (politik syari’at) yaitu Allâh Azza wa Jalla menuntun para hamba-Nya untuk berusaha merealisasikan maslahat umum dengan cara membagi permasalahan tersebut dan menyerahkannya kepada yang berkompeten, orang yang mengerti seluk beluk inti permasalahan dan tahu solusi dari permasalahan yang diembankan kepadanya. Allâh berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imrân 104)
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (at-Taubah 122)
Dan tidak diragukan lagi, metode untuk merealisasikan kemaslahatan umum seperti ini merupakan satu-satunya metode dalam mencapai kesempurnaan agama dan dunia.

Masa Suram perpolitikan Islam
Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state (negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).
Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual maupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus dikesampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.

Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.
Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “الإسلام (Menyerah)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”
Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”
Sebuah masyarakat Islam berbeda sama sekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi maupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan sebuah masyarakat Jahiliyyah berdiri di atas fondasi bahwa sesama manusia pantas untuk dipuji, dipuja, dimintai pertolongannya, diserahkan kepatuhan dan loyalitas kepadanya. Oleh karenanya di dalam masyarakat seperti ini akan selalu hadir para thaghut, yaitu fihak yang sedikit saja memperoleh kekuasaan lalu berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan dari para rakyatnya, pengikutnya, muridnya, bawahannya.

Politik Islam adalah politik syar’i. Ia merupakan politik yang berlandaskan konsepsi mendasar aqidah Islamiyyah, yaitu La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Politik Islam pasti akan menghantarkan masyarakat untuk membentuk diri menjadi masyarakat Islam. Sedangkan politik jahiliyyah merupakan politik yang tidak syar’i. Politik jahiliyyah akan menghasilkan tumbuhnya sebuah masyarakat jahiliyyah lengkap dengan suburnya eksistensi para 'thaghut' di dalamnya. Politik seperti ini akan menyebabkan manusia sadar tidak sadar menghamba kepada sesama manusia.

Penutup
Dalam carut-marut politik seperti saat ini, keshalihan individual elit politik tentu tidak cukup dijadikan dasar pilihan politik; tidak cukup pula untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Sebab, masalah bangsa dan negara berakar pada sistemnya, yakni sistem Kapitalisme-sekular yang rusak. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara.
Karena itu kita membutuhkan bukan sekadar pemimpin yang shalih, namun juga ideologi dan sistem yang sahih. Itulah ideologi (mabda’) Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan dalam institusi Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah.

Hanya ajaran syariat ini menjadi sebab tunggal dan jalan yang paling efektif dalam menggerakkan roda politik. Ketahuilah! Sesungguhnya kesempurnaan dan kebaikan ada pada segala tindakan yang mengikuti petunjuk syari’at. Sebaliknya, semua kekurangan yang sudah terjadi atau yang dikhawatirkan itu ditimbulkan oleh kelalaian dan sikap acuh terhadap syari’at.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu." (al-Anfâl 60)
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan semampunya. Kekuatan di sini mencakup kekuatan ide, politik, produksi dan persenjataan serta semua yang bisa memperkuat diri dalam menghadapi musuh dan bisa membuat mereka gentar.

Dan setelah kita mengetahui urgensitas politik dan kedudukannya dalam Islam. Wajib bagi semua elemen pejuang Islam untuk membangun  kesadaran menuju perubahan di sisi politik umat Islam. Bahu membahu menuju politik yang diridhai Allah Ta’ala. Berjuang bersama dengan tanpa memicingkan mata kepada ‘kelompok lain’ hanya karena perbedaan yang masih bisa dimaafkan, tanpa pula meremehkan hasil kerja yang sudah dilampaui oleh saudara seperjuangannya. Ingat, sehebat apapun sebuah gerakan Islam, mereka tidak akan mampu menyelesaikan semua persoalan umat Islam hari ini yang sangat kompleks dan multi dimensional; dari persoalan kemusyrikan, bid’ah, kemiskinan, lemahnya iman, kebodohan, pengangguran, KKN, pornografi-pornoaksi, illegal logging, pergaulan bebas, pelacuran dan lain-lain.

Alhasil, penting menyatukan Islam dan politik ini serta mengaplikasikannya. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar…Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.”
Ibnu Taymiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”

Semoga bermanfa'at.... Salam Tanoh Alas Metuah...
Wa akhiru da’wana an alhamduliliahirabbil ‘alamin

Diolah dari berbagai rujukan:
http://www.saaid.net/Doat/alsharef/6
http://syariahonline-jabar.com/2016/02/politik-dalam-islam/
http://www.nu.or.id/post/read/50799/islam-dan-politik
https://hizbut-tahrir.or.id/2016/09/21/islam-mengatur-politik/
https://almanhaj.or.id/4150-islam-dan-politik
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/politik-islam-dan-politik-jahiliyyah
http://hariannetral.com/2014/09/pengertian-politik-dalam-islam-menurut-para-ahli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar